Ketika Desa Adat Menolak Turis: Menjaga Tradisi di Tengah Godaan Uang

Fenomena globalisasi dan pariwisata massal sering kali menimbulkan dilema etis bagi komunitas adat. Di Indonesia, beberapa desa adat menunjukkan sikap tegas: menolak atau membatasi kunjungan wisatawan demi Menjaga Tradisi dan keaslian budaya mereka. Keputusan ini, yang mungkin terlihat kontras dengan gelombang pariwisata yang didorong pemerintah, adalah bentuk perlawanan budaya yang kuat di tengah godaan pendapatan besar dari sektor pariwisata. Prioritas utama desa-desa ini adalah kelestarian norma adat, bukan keuntungan finansial.

Contoh nyata dari sikap ini dapat dilihat pada Desa Adat Wae Rebo di Flores, Nusa Tenggara Timur, atau Desa Adat Sade di Lombok. Meskipun Wae Rebo mengizinkan kunjungan, mereka memberlakukan aturan sangat ketat. Wisatawan diwajibkan mengikuti seluruh ritual penyambutan, mematuhi larangan penggunaan gawai di area tertentu, dan menginap hanya di rumah adat yang telah ditentukan. Kebijakan ini, yang diperkuat melalui awig-awig (hukum adat) yang disahkan pada Musyawarah Adat Januari 2024, berfungsi sebagai filter yang secara efektif Membatasi Jumlah Turis dan memastikan perilaku mereka selaras dengan etika desa.


Ancaman Komersialisasi dan Degradasi Budaya

Alasan utama di balik penolakan sebagian desa adalah kekhawatiran akan komersialisasi berlebihan dan degradasi budaya. Arus wisatawan yang tak terkontrol seringkali membuat ritual sakral menjadi tontonan, mengubah nilai spiritual menjadi nilai jual. Praktik ini, dalam jangka panjang, mengancam fondasi identitas desa tersebut. Oleh karena itu, bagi desa-desa yang sangat ketat, seperti komunitas tertentu di Pegunungan Toraja, Sulawesi Selatan, mereka memilih Membatasi Jumlah Turis total selama upacara adat penting seperti pemakaman Rambu Solo.

Dalam kasus Desa Baduy Dalam di Banten, penolakan ini sudah menjadi bagian dari filosofi hidup. Mereka menolak keras pembangunan infrastruktur modern, termasuk jalan beraspal dan menara telekomunikasi, yang dipandang dapat merusak kemurnian tradisi dan lingkungan. Aparat pemerintah daerah, khususnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Lebak, telah menghormati keputusan tersebut dan fokus pada pengembangan buffer zone atau wilayah penyangga untuk memfasilitasi interaksi yang terkontrol. Pemasukan dari penjualan kerajinan tangan oleh warga Baduy Luar (yang lebih terbuka) digunakan sebagai modal kolektif untuk Menjaga Tradisi dan integritas wilayah Baduy Dalam.


Penguatan Hukum Adat dan Konservasi

Sikap tegas desa adat ini didukung oleh pengakuan kuat terhadap hukum adat di Indonesia. Lembaga adat berfungsi sebagai regulator yang lebih kuat daripada peraturan pariwisata formal di wilayah mereka. Ketika terjadi pelanggaran etika oleh wisatawan (seperti kasus vandalisme di situs suci yang terjadi pada April 2025), penyelesaiannya seringkali diutamakan melalui mekanisme adat, yang sanksinya bisa berupa denda (denda adat) atau pengusiran paksa.

Pada akhirnya, keputusan untuk Menjaga Tradisi dan menolak turis asing adalah tindakan konservasi budaya yang proaktif. Hal ini memberikan pelajaran penting bagi industri pariwisata bahwa pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan kelestarian budaya. Ini adalah langkah berani yang menunjukkan bahwa harga diri dan identitas komunitas adat jauh lebih berharga daripada pendapatan sesaat dari pariwisata.

Related Posts

journal.pafibungokab.org

learn.pafipemkotkerinci.org

news.pafipemkotpalopo.org